Setelah Dipikir-pikir, Mending Gausah Dipikirin: Manifesto Kaum Overthinker
Setelah Dipikir-pikir, Mending Gausah Dipikirin
Sebuah Manifesto untuk Kaum Overthinker yang Budiman
Anjay, bener juga ya.
Kalimat pembuka di atas bukan sekadar basa-basi, tapi sebuah epifani yang seringkali datang setelah kita melewati perang dunia di dalam kepala sendiri. Sebuah kesimpulan agung yang muncul setelah otak kita serasa jadi CPU yang running di 100% usage selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan bertahun-tahun, cuma buat mikirin sesuatu yang... well, setelah dipikir-pikir, mending gausah dipikirin.
Selamat datang di klub, kawan. Klub para pemikir keras, para analis skenario "gimana kalo...", para sutradara film horor yang dibintangi diri sendiri, para detektif yang menyelidiki kasus yang bahkan nggak pernah ada. Kita adalah kaum overthinker. Makhluk-makhluk nokturnal yang lebih sering terjaga karena dialog imajiner di kepala ketimbang karena nonton series Netflix. Kita adalah mereka yang bisa menganalisis satu chat "Oke." doang jadi sebuah disertasi setebal 500 halaman tentang "Pergeseran Makna Monosilabik dalam Komunikasi Digital dan Implikasinya terhadap Keretakan Hubungan Interpersonal." Seriously, what the hell is wrong with us?
Bab I: Museum Kenangan Cringe & Galeri Bencana Masa Depan
Otak seorang overthinker itu bukan sekadar organ. It’s a goddamn time machine. Sayangnya, seringnya rusak dan cuma bisa pergi ke dua destinasi: masa lalu yang penuh penyesalan atau masa depan yang penuh kecemasan.
Destinasi Pertama: The Cringe Past.
Pernah nggak sih, lo lagi nyantai, tiba-tiba otak lo dengan kurang ajarnya memutar ulang sebuah memori dari tahun 2013? Momen pas lo coba ngelawak di depan gebetan, tapi garing? Padahal faktanya? Orang lain mungkin lupa lima menit setelah kejadian itu. Nobody gives a fuck! Tapi di kepala kita, momen itu diabadikan dalam "Museum Kenangan Cringe" yang buka 24/7.
Destinasi Kedua: The Catastrophic Future.
Kalau kita lagi bosen, mesin waktu kita switch mode ke masa depan versi sutradara Ari Aster. Penuh skenario "gimana kalo...". "Gimana kalo presentasi besok nge-blank?" "Gimana kalo chat yang di-read doang itu artinya dia ilfeel?" Ini yang disebut Analysis Paralysis. Saking banyaknya menganalisis, kita jadi lumpuh. Akhirnya? Nggak ngapa-ngapain.
Bab II: Kenapa, Sih? Apeni? Why Are We Like This?
Kalau dipikir-pikir (nah, kan, mikir lagi), kenapa kita melakukan ini? Well, partly, it's not our fault. Otak kita didesain untuk bertahan hidup. Overthinking itu sistem alarm kuno yang ketinggalan zaman. Dulu alarm bunyi buat nyelametin kita dari macan. Sekarang? Alarm bunyi gara-gara ada undangan reuni SMA. The threat has changed, but the software hasn't been updated.
Lalu, ada faktor modern: the highlight reel of social media. Kita scroll Instagram, liat temen liburan ke Swiss. Sementara kita? Di kamar, pake daster, mikirin kenapa foto profil WhatsApp kita miring. Perbandingan sosial ini jadi bensin yang menyiram api overthinking.
Bab III: The "Fuck It" Epiphany
Setiap overthinker sejati pasti pernah sampai pada titik di mana energi mental kita habis. Di momen inilah, pencerahan surgawi turun:
Ini adalah "Bodo Amat" yang tercerahkan. Ini adalah kesadaran bahwa kita udah menghabiskan terlalu banyak waktu dan energi untuk hal-hal di luar kendali kita. Ini adalah bentuk surrender yang strategis.
Bab IV: Manual Praktis Menuju Kehidupan "Gausah Dipikirin"
Oke, oke. Teori doang mah gampang. Gimana cara praktiknya? Gimana cara kita menekan tombol off? Ini beberapa starter pack:
-
1. Terapkan "The 5-Second Rule" Versi Lokal.
Mau ngelakuin sesuatu? Hitung 5-4-3-2-1, langsung gerak. Jangan kasih otak jeda. Sat-set-sat-set, no drama.
-
2. Lakukan "The So What? Test".
Tantang skenario horor di kepala dengan: "So what?". "Gimana kalo gue gagal?" -> So what? Paling malu bentar, terus belajar lagi.
-
3. Jadwalkan "Sesi Gosip sama Otak".
Kasih jatah waktu khusus, misal 15 menit tiap sore, buat overthinking. Setelah waktu habis, stop. Bilang, "Besok lagi."
-
4. "Brain Dump" alias Muntahin Isi Kepala.
Sebelum tidur, tulis semua yang ada di kepala. Tujuannya memindahkan "file" berat dari RAM otak ke kertas.
-
5. Keluar dari Kepalamu, Secara Literal.
Fokus pada panca indera. Jalan kaki, perhatikan sekitar. Cuci piring, rasakan airnya. Grounding yourself is the ultimate antidote.
Posting Komentar